Tag

, ,

Hai, Al, ketemu lagi kita.

Al, mungkin kau mulai terbiasa kukirimi surat. Dan mulai terbiasa menemuiku melalui kata-kata. Sayangnya, aku mulai bingung memilih kata pembuka yang pas, maka kali ini aku absen membubuhkan kalimat pembuka itu.

Kamu tahu, kan, aku bukan penggila film. Kamu tahu aku tidak akan mengantri berjam-jam di loket pembelian tiket hanya untuk menonton sebuah film yang baru tayang, serempak, box office, dan telah ditunggu sejak lama oleh para penggandrungnya. Aku hanya akan menonton film ketika aku mau, ketika sesuai apa yang kurasakan, selebihnya ketika aku kurang kerjaan.

Kali ini aku sedang kurang kerjaan sebab aku baru saja mengundurkan diri dari pekerjaanku untuk fokus pada tugas akhirku, Al, maka aku kehilangan beberapa kegiatan dan itu sangat membosankan. Untuk mengisi waktu, kuluangkan hari untuk membeli kaset DVD lalu movie-marathon sehari penuh di kamar. Dari 5 film yang kutonton, ada satu film yang menarik perhatianku hanya dari tagline-nya, ya, hanya dari tagline-nya.

even the wisest men was a fool for love.”

Aku bahkan belum menonton filmnya, Al. Dari sinopsisnya, aku tidak begitu tertarik. Aku hanya tertarik pada tagline­-nya, ya, hanya itu.

Kemudian itu membawaku pada buku yang pernah kubaca saat aku berada di tingkat pertama kuliah, sekitar 4 tahun lalu. Seseorang yang pernah kukenal meminjamkanku buku itu, The Art of Loving judulnya. Karya seorang Psikoanalis Erich Fromm.

Aku jadi bertanya-tanya, Al, bagaimanakah kisah percintaan beliau sehingga beliau bisa menjadi peletak dasar teori cinta, apakah beliau pernah mengalami hal-hal menyedihkan dalam cinta, bagaimana beliau menghadapinya, juga hal yang sama seperti Aristoteles atau Plato yang banyak menyumbang teori tentang alam raya. Apakah mereka pernah mengalami yang Alan Powell alami, yaitu was fool for love even they’re the wisest?

Al, mengapa aku sangat ingin tahu jawabannya? Karena aku mengalami fool itu, padamu. Maka kubaca kembali buku itu, yang empat tahun lalu pernah seseorang jejalkan padaku, saat aku belum bisa menangkap banyak makna.

Al, kita adalah apa yang kita tuju dalam hidup. Apa tujuan kita, itu menggambarkan diri kita. Manusia adalah alat untuk manusia lain mencapai tujuannya. Banyak sekali, Al, tujuan dalam hidup; menjadi kaya, berkuasa, menjadi pemimpin, memiliki jabatan di perusahaan, dan muara dari semua itu adalah agar dicintai. Ya, dicintai ialah tujuan seseorang dalam hidupnya. Kebanyakan orang begitu, Al, karena mana ada yang bisa hidup dalam kesepian? Sebab dicintai, katanya membuat kita merasa tenang, lengkap, sempurna, dan yang terpenting tidak merasa sendiri.

Tapi, Al, jalan untuk dicintai bukan dengan mencintai. Mencintai tidak serendah itu, seharusnya. Tidak heran banyak orang mudah patah hatinya sebab tujuannya mencintai adalah untuk dicintai, aku salah satunya, padamu. Sebab cinta ialah penyumbang paling besar perubahan emosi seseorang, maka jika tujuan mencintai hanya untuk dicintai, ita tidak akan pernah belajar mengenai ketulusan, apa adanya, dan bersyukur untuk segala hal, salah satunya mensyukuri kelebihan berupa perasaan untuk merasakan cinta itu sendiri.

Maka aku paham, Al, bahwa seseorang sebenarnya tidak pernah benar-benar mencintai jika dengan mencintai, tujuannya adalah agar dicintai. Orang-orang yang tujuan hidupnya untuk dicintai sesungguhnya adalah orang yang egois, yang hanya memikirkan dirinya sendiri, serta orang-orang yang terjebak dalam konsepsi cinta palsu, di mana pemahamannya tentang cinta terbatas pada kontruksi sosial yang berkembang di lingkungannya, dan itu sangat menyedihkan, Al. Artinya, dia tidak mengetahui apa pun tentang cinta, bahkan tentang segala hal karena yang ia ketahui hanyalah bagaimana cara untuk memuaskan dirinya sendiri.

Al, bagaimana denganmu? Apa tujuan hidupmu? Mungkin kita bisa berbincang kembali untuk menemukan satu gagasan, entah tentang cinta, tentang jagad raya, atau mungkin tentang kita.