Tag

, ,

Jatibening, 17 Februari 2014

Kepada Alien dari Kesadaran

Selamat siang, Alien. Apa kabarmu? Kali ini aku menuliskan surat ini bukan atas gagasanku sendiri, melainkan sebagai perantara dari Kesadaran.

Selain berbicara dengan Kesepian, aku juga berbincang mengenai banyak hal dengan Kesadaran. Banyak sekali yang ia tuturkan padaku, dan aku amat takjub sekali dengan pemaparannya. Sempat tidak mengerti di beberapa bagian, namun sekeras mungkin kuusahakan agar lingkar otakku semakin besar sehingga aku bisa mencerna setiap kalimatnya.

Jika hanya Tuhan yang ‘selalu ada’, maka selainNya ialah sesuatu yang tidak selalu ada, yang mana berarti mereka ada karena proses penciptaan. Dan setiap yang ada, pastinya akan menjadi tiada melalui proses pembaharuan, penyusutan, bahkan pengikisan. Jika cinta bukanlah Tuhan, maka ia sudah pasti ada karena diadakan, yang berarti ia pernah tiada dan akan kembali tiada. Jika kita bukanlah Tuhan, maka nasib kita adalah sama seperti cinta, di mana awal dan akhirnya adalah tiada. Maka, mengapa begitu takut pada kehilangan sedangkan setiap kita pasti akan lebur dalam kehilangan itu?”

Pada awalnya aku sendiri tidak mengerti dengan apa yang Kesadaran sampaikan padaku itu, Al, sama sekali tidak mengerti. Sampai kubuka-buka dokumen lama mengenai  kehadiran jagat raya, asal-usul dunia tempat kita bernaung sekarang, yang malah membelit kepalaku dengan banyak gagasan. Namun, pada akhirnya aku memahami bahwa takut akan ketiadaan ialah bukti bahwa kita mencintai dengan terlalu dan tidak berani menghadapi perubahan padahal Heraclitus dari Ephesus  bilang bahwa dunia itu dicirikan dengan adanya kebalikan; jika tidak pernah sakit, kita tidak pernah tahu apa rasanya sehat. Jika tidak mengenal kelaparan, kita tidak akan pernah merasakan senangnya menjadi kenyang.

Nah, Al, kini aku mengerti mengapa Kesadaran begitu gencar menghampiriku sekalipun aku pernah begitu kuat menutup pintu untuknya dengan bersikukuh tetap mengenang segala tentang kita yang pernah tertulis meski tak perlu.

Segala sesuatu yang ada dunia ini akan mengalami perubahan, katanya. Awal dan akhir adalah ketiadaan. Ada indera-indera yang  membuat kita dapat merasakan perubahan tersebut, di mana itu disebut perasaan. Namun apakah aku akan bergantung 100% pada perasaan, tanyanya saat itu, aku rasa kini aku tahu jawabannya. Indera-indera kita kadang tidak memberikan gambaran yang begitu tepat tentang sesuatu karena seringkali lebih mengandalkan perasaan, Al. Maka aku akan mencoba menyeimbangkan dengan akal yang diadakan dalam diriku, agar nantinya, mencintai itu tidak menjadi terlalu. Toh, segala sesuatu yang tidak selalu ada akan tiada, kan?

Al, apakah kamu mengerti dengan penjelasanku? Kalau belum, biar kuhubungi Kesadaran untuk menjelaskannya ulang kepadamu.

Semoga kamu baik-baik saja.